PENGERTIAN HAM
Hak asasi manusia (atau disingkat HAM) adalah hak-hak dasar yang telah dipunyai seseorang semata-mata karena akibat dari kualitas yang disandangnya selaku manusia dengan tanpa adanya pengecualian. Selain itu, HAM bersifat universal yang artinya penerapannya tidak mengenali batasan-batasan, entah itu bersifat kewarganegaraan, kewilayahan atau yang lainnya. Singkatnya, selama ia dipandang memiliki kualitas sebagai manusia dianggap memiliki HAM.
Dalam kaitannya dengan itu, maka HAM yang kita kenal sekarang adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan yang hak-hak yang sebelumnya termuat, misal, dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Prancis. HAM yang dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB sejak berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai batasan-batasan kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa berkelit untuk tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya. Dengan kata lain, selama menyangkut persoalan HAM setiap negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan HAM pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Oleh karenanya, pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah untuk mengidentikan atau menyamakan antara HAM dengan hak-hak yang dimiliki warga negara. HAM dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut sebagai manusia.
Alasan di atas pula yang menyebabkan HAM bagian integral dari kajian dalam disiplin ilmu hukum internasional. Oleh karenannya bukan sesuatu yang kontroversial bila komunitas internasional memiliki kepedulian serius dan nyata terhadap isu HAM di tingkat domestik. Malahan, peran komunitas internasional sangat pokok dalam perlindungan HAM karena sifat dan watak HAM itu sendiri yang merupakan mekanisme pertahanan dan perlindungan individu terhadap kekuasaan negara yang sangat rentan untuk disalahgunakan, sebagaimana telah sering dibuktikan sejarah umat manusia sendiri.
Dalam kaitannya dengan itu, maka HAM yang kita kenal sekarang adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan yang hak-hak yang sebelumnya termuat, misal, dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Prancis. HAM yang dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB sejak berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai batasan-batasan kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa berkelit untuk tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya. Dengan kata lain, selama menyangkut persoalan HAM setiap negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan HAM pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Oleh karenanya, pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah untuk mengidentikan atau menyamakan antara HAM dengan hak-hak yang dimiliki warga negara. HAM dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut sebagai manusia.
Alasan di atas pula yang menyebabkan HAM bagian integral dari kajian dalam disiplin ilmu hukum internasional. Oleh karenannya bukan sesuatu yang kontroversial bila komunitas internasional memiliki kepedulian serius dan nyata terhadap isu HAM di tingkat domestik. Malahan, peran komunitas internasional sangat pokok dalam perlindungan HAM karena sifat dan watak HAM itu sendiri yang merupakan mekanisme pertahanan dan perlindungan individu terhadap kekuasaan negara yang sangat rentan untuk disalahgunakan, sebagaimana telah sering dibuktikan sejarah umat manusia sendiri.
I. PENDAHULUAN.
1. Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia
secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa,
meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan,
hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan
yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun, demikianlah rumusan hak
asasi manusia sebagai mana tertuang pada pembukaan Piagam Hak Asasi
Manusia Indonesia vide Tap MPR No.XVII/MPR/1998.
2. Walaupun terlambat, 50 (lima puluh) tahun setelah Perserikatan Bangsa Bangsa
memproklamirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of
Human Rights), lahirnya Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
merupakan tonggak sejarah yang strategis di bidang hak asasi manusia di bumi
Indonesia, tenggang waktu setengah abad yang dirasakan cukup lama
menunjukan bahwa betapa rumitnya bangsa ini dalam mengadopsi dan
menyesuaikan antara nilai-nilai universal dengan nilai-nilai yang sudah dianut
berkaitan dengan hak asasi manusia.
3. Terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Keppres No 50 tahun 1993)
mendapat tanggapan positif berbagai kalangan di Indonesia, terbukti dengan
banyaknya laporan dari masyarakat kepada Komnas HAM tentang berbagai
pelanggaran HAM yang terjadi selama ini, hal ini menunjukkan betapa besarnya
perhatian bangsa Indonesia terhadap penegakan hak asasi manusia, dan
sekaligus menunjukkan betapa prihatinnya bangsa Indonesia terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini terjadi di Indonesia.
II. IMPLEMENTASI HAK ASASI MANUSIA Dl INDONESIA.
1. Dalam sejarahnya bangsa Indonesia terlahir dari suatu bangsa yang terjajah
selama 350 tahun yang penuh kesengsaraan dan penderitaan akibat penjajahan.
Oleh karenanya konstitusi Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan
UUD 1945 bangsa Indonesia sangat menentang segala bentuk penjajahan di atas
dunia sebagai implementasi penghormatan terhadap hak asasi manusia, juga
dalam batang tubuh UUD 1945 memuat beberapa pasal sebagai implementasi hak
asasi manusia, seperti; pasal 27 (1) tentang kesamaan kedudukan warga negara di
muka hukum, pasal 27 (2) tentang hak warga negara untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak, pasal 28 tentang kebebasan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, pasal 29 (1)
tentang kebebasan memeluk agama, dan pasal 33 mengatur tentan
kesejahteraan sosial. UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 memuat secara
rinci ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia.
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Tap MPRS
No.XIV/1966 membentuk Panitia Ad hoc untuk menyiapkan Rancangan Piagam
Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara, pada Sidang
Umum MPRS tahun 1968 Rancangan tersebut tidak dibahas dengan maksud agar
Rancangan tersebut dibahas oleh MPR hasil Pemilu. Beberapa kali Sidang MPR di
Era Orde Baru Rancangan tentang Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan
Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara tidak pernah dibahas lagi. Atas desakan
dan tuntutan berbagai lapisan masyarakat baru pada Sidang Istimewa MPR bulan
Nopember 1998 dihasilkan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia, yang kemudian diikuti dengan dibuatnya beberapa perundang-undangan
tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-
undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hal ini
sebagai tanda langkah maju dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia di
tengah keperihatinan atas terjadinya berbagai macam pelanggaran hak asasi
manusia.
III. TIPOLOGI DAN PRAKTIK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Dl INDONESIA.
1. Pendekatan pembangunan yang mengutamakan "Security Approach" dapat
menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah.
Selama lebih kurang 32 tahun orde baru berkuasa "Security Approach" sebagai
kunci menjaga stabilitas dalam rangka menjaga kelangsungan pembangunan demi
pertumbuhan ekonomi nasional. Pola pendekatan semacam ini, sangat berpeluang
menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah, karena stabilitas
ditegakan dengan cara-cara represif oleh pemegang kekuasaan. Beberapa jenis
pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi, antara lain;
a. Penangkapan dan penahanan seseorang demi menjaga stabilitas, tanpa
berdasarkan hukum.
b. Pengeterapan budaya kekerasan untuk menindak warga masyarakat yang
dianggap ekstrim yang dinilai oleh pemerintah mengganggu stabilitas
keamanan yang akan membahayakan kelangsungan pembangunan.
c. Pembungkaman kebebasan pers dengan cara pencabutan SIUP, khususnya
terhadap pers yang dinilai mengkritisi kebijakan pemerintah, dengan dalih
mengganggu stabilitas keamanan.
d. Menimbulkan rasa ketakutan masyarakat luas terhadap pemerintah, karena
takut dicurigai sebagai oknum pengganggu stabilitas atau oposan
pemerintah (ekstrim), hilangnya rasa aman demikian ini merupakan salah
satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
e. Pembatasan hak berserikat dan berkumpul serta menyatakan pendapat,
karena dikhawatirkan akan menjadi oposan terhadap pemerintah.
2. Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh orde baru selama lebih kurang 32
tahun, dengan pemusatan kekuasaan pada Pemerintah Pusat nota bene pada
figure seorang Presiden, telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas
negara sebagai akibat dari penguasaan para pemimpin negara terhadap rakyat.
Pembalikan teori kedaulatan rakyat ini mengakibatkan timbulnya peluang
pelanggaran hak asasi manusia oleh negara dan pemimpin negara dalam bentuk
pengekangan yang berakibat mematikan kreativitas warga dan pengekangan hak
politik warga selaku pemilik kedaulatan, hal ini dilakukan oleh pemegang
kekuasaan dalam rangka melestarikan kekuasaannya.
3. Kualitas pelayanan publik yang masih rendah sebagai akibat belum terwujudnya
good governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang.
akuntabilitas, penegakan hukum yang berkeadilan dan demokratisasi. Serta belum
berubahnya paradigma aparat pelayan publik yang masih memposisikan dirinya
sebagai birokrat bukan sebagai pelayan masyarakat, hal ini akan menghasilkan
pelayanan publik yang buruk dan cenderung untuk timbulnya pelanggaran hak
asasi manusia seperti;
a. Hilang/berkurangnya beberapa hak yang berkaitan dengan kesejahteraan
lahir dan batin yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab
pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan warganya.
b. Hilang/berkurangnya hak yang berkaitan dengan jaminan, perlindungan,
pengakuan hukum dan perlakuan yang adil dan layak.
c. Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat.
d. Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan
khusus bagi anak-anak, orang tua, dan penderita cacat.
e. Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak.
4. Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal telah melahirkan berbagai tindakan
kekerasan yang melanggar hak asasi manusia baik oleh sesama kelompok
masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat, seperti:
a. pembunuhan;
b. penganiayaan;
c. penculikan;
d. pemerkosaan;
e. pengusiran;
f. hilangnya mata pencaharian;
g. hilangnya rasa aman, dll.
5. Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi, walaupun
Perserikatan Bangsa- Bangsa telah mendeklarasikan hak asasi manusia yang
pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak
akan kebebasan dan martabat yang setara tanpa membedakan; ras, warna kulit,
keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin. Namun faktanya adalah
bahwa instrumen tentang hak asasi manusia belum mampu melindungi perempuan
terhadap pelanggaran hak asasinya dalam bentuk;
a. Kekerasan berbasis gender bersifat phisik, seksual atau psikologis;
penganiayaan, pemerkosaan dan berbagai jenis pelecehan.
b. Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan.
c. Diskriminasi dalam sistem pengupahan.
d. Perdagangan wanita.
6. Pelanggaran hak asasi anak. Walaupun Piagam Hak Asasi Manusia telah memuat
dengan jelas mengenai pelindungan hak asasi anak namun kenyataannya masih
sering terjadi pelanggaran hak asasi anak, yang sering dijumpai adalah;
a. kurangnya perlindungan hukum terhadap anak dari segala bentuk
kekerasan phisik dan mental;
b. menelantarkan anak;
c. perlakuan buruk;
d. pelecehan seksual;
e. penganiayaan;
f. mempekerjakan anak di bawah umur.
7. Sebagai akibat dari belum terlaksananya supremasi hukum di Indonesia, maka
berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk;
a. perbedaan perlakuan di hadapan hukum, rakyat kecil merasakan bahwa
hukum hanya berlaku bagi mereka, tidak bagi pejabat;
b. menjauhnya rasa keadilan;
c. terjadinya main hakim sendiri sebagai akibat ketidakpercayaan kepada
perangkat hukum.
IV. UPAYA PENCEGAHAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Dl INDONESIA.
1. Pendekatan Security yang terjadi di era orde baru dengan mengedepankan upaya
represif menghasilkan stabilitas keamanan semu dan berpeluang besar
menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh terulang
kembali, untuk itu supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan
hukum dan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidak memuaskan
masyarakat, bahkan berdampak terhadap timbulnya berbagai pelanggaran hak
asasi manusia, untuk itu desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan
berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu
dilanjutkan, otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak
boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjutkan dan dilakukan pembenahan atas
segala kekurangan yang terjadi.
3. Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi
pelayan masyarakat dengan cara mengadakan reformasi di bidang struktural,
infromental, dan kultular mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan public untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak
asasi manusia oleh pemerintah.
4. Perlu penyelesaian terhadap berbagai Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal di
tanah air yang telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang melanggar hak
asasi manusia baik oleh sesama kelompok masyarakat dengan acara
menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.
5. Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang
sama bagi semua hak asasi manusia di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil, dan bidang lainnya, termasuk hak untuk hidup, persamaan, kebebasan dan
keamanan pribadi, perlindungan yang sama menurut hukum, bebas dari
diskriminasi, kondisi kerja yang adil. Untuk itu badan-badan penegak hukum tidak
boleh melakukan diskriminasi terhadap perempuan, lebih konsekuen dalam
mematuhi Konvensi Perempuan sebagaimana yang telah diratifikasi dalam Undang
undang No.7 Tahun 1984, mengartikan fungsi Komnas anti Kekerasan Terhadap
Perempuan harus dibuat perundang-undangan yang memadai yang menjamin
perlindungan hak asasi perempuan dengan mencantumkan sanksi yang memadai
terhadap semua jenis pelanggarannya.
6. Anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari
semua jaminan hak asasi manusia yang tersedia bagi orang dewasa. Anak harus
diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang
memudahkan mereka berintraksi di dalam masyarakat, anak tidak boleh dikenai
siksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, pemenjaraan
atau penahanan terhadap anak merupakan tindakan ekstrim terakhir, perlakuan
hukum terhadap anak harus berbeda dengan orang dewasa, anak harus
mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana phisik
dan psikologis yang memungkinkan anak berkembang secara normal dan baik,
untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi
anak, setiap pelanggaran terhadap aturan harus ditegakan secara profesional
tanpa pandang bulu.
7. Supremasi hukum harus ditegakan, sistem peradilan harus berjalan dengan baik
dan adil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang
dibebankan kepadanya dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada
masyarakat pencari keadilan, memberikan perlindungan kepada semua orang dari
hukum dalam rangka menegakan hukum.
8. Perlu adanya kontrol dari masyarakat (Social control) dan pengawasan dari
lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakan hak asasi manusia yang
dilakukan oleh pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar